Tugas Kebudayaan dasar "Evolusi Budaya"
Nama : Ridwan Friatmoko
Kelas : 1KA11
NPM : 16112318
Evolusi
kebudayaan
Evolusi kebudayaan bisa didefenisikan sebagai suatu perubahan atau
perkembangan kebudayaan, seperti perubahan dari bentuk sederhana menjadi kompleks
(syaifudin, 2005 : 99) .Perubahan itu biasanya bersifat lambat laun. Paradigm
yang berkaitan dengan konsep evolusi tersebut adalah evolusionalisme yang
berarti cara pandang yang menekankan perubahan lambat-laun menjadi lebih baik
atau lebih maju dari sederhana ke kompleks.
Tak berlebihan apabila dikatakan bahwa evolusionalisme dikatakan sebagai
landasan awal bagi pembentukan berbagai paradigma dalam antropologi. Menurut hemat penulis, meskipun sebagian
paradigm saat ini mengatakan tidak sepakat dengan evolusionalisme namun secara
sadar ataupun tidak sadar antropolog dan juga ahli ilmu social lainnya
menggunakan ungkapan-ungkapan
evolusionistik seperti “sederhana-kompleks”, “kemajuan-kemunduran”,
“tradisional-modern”, atau “desa-kota” dalam menanggapi gejala sosial tetentu.
Dengan kata lain, banyak pikiran dalam evolusionisme tetap hadir dalam
paradigm-paradigma antropologi social budaya masa kini.
Proses
Evolusi Sosial Secara Universal menurut para ahli
Menurut konsep evolusi secara universal mengatakan bahwa masyarakat
manusia berkembang secara lambat ( berevolusi ) dari tingkat-tingkat rendah dan
sederhana menuju ke tingkat yang lebih tinggi dan kompleks. Dimana kecepatan
perkembangannya atau proses evolusinya berbeda-beda setiap wilayah yang ada di
muka bumi ini. Itu sebabnya sampai saat ini masih ada juga kelompok-kelompok
manusia yang hidup dalam masyarakat yang bentuknya belum banyak berobah dari
dahuu hingga saat ini kebudayaannya.
Konsep evolusi social universal H. Spencer
1) Teori mengenai asal mula
religi
Spencer megatakan bahwa semua bangasa yang ada di dunia ini, religi itu
dimulai dengan adanya rasa sadar dan takut akan maut. Spencer mengatakan bahwa
bentuk religi yang tertua adalah religi terhadap penyambahan roh-roh nenek
moyang moyang yang merupakan personifikasi dari jiwa-jiwa orang yang telah
meninggal. Bentuk religi yang tertua ini pada semua bangsa di dunia ini akan
berevolusi ke bentuk religi yang lebih komplex yaitu penyembahan kepada
dewa-dewa, seperti dewa kejayaan, dewa perang, dewa kebijaksaan, dewa
kecantikan, dewa maut ( konetjaranigrat,1980:35 ) dan dewa lainnya.
Dewa-dewa yang menjadi pusat orientasi dan penyembahan manusia dalam
tingkat evolusi religi seperti itu mempunyai cirri-ciri yang mantap dalam
bayangan seluruh umatnya, karena tercantum dalam mitologi yang seringkali telah
berada dalam bentuk tulisan.
Elovusi dari religi itu dimulai dari penyembahan kepada nenek moyang ke
tingkat penyembahan dewa-dewa.Kebudayaan berevolusi karena didorong oleh suatu
kekuatan mutlak yang disebut dengan evolusi universal. H.Spencer berpendapat
bahwa perkembangan masyarakat dan kebudayaan dari setiap bangsa di dunia akan
melewati tingkat-tingkat yang sama. Namun Ia tidak mengabaikan fakta bahwa
perkembangan dari tiap-tiap masyarakat atau sub-sub kebudayaan dapat mengalami
proses evolusi dalam tingkat-tingkat yang berbeda.
Pada suatu bangsa misalnya, mungkin timbul keyakinan akan kelahiran
kembali, dan karena dalam suatu religi seperti itu aka nada keyakinan bahwa roh
manusia itu bisa dilahirkan kembali ke dalam tubuh binatang, maka terjadi suatu
kelompok religi dimana manusia menyembah binatang atau roh binatang. Pada suatu
masa binatang-binatang itu akan dianggap sebagai lambing dari sifat-sifat yang
dicita-citakan atau ditakuti oleh manusia, seperti misalnya burung elang
menjadi lambing kejayaan, gajah menjadi lambing kebijaksanaan, singa menjadi
lambang peperangan dan sebagainya. Dengan demikian manusia yang menghormati
binatang tadi mulai menghormati dewa kejayaan, dewa kebijaksanaan, dewa
peperangan dan sebagainya, yang seringkali memang berwujud binatang.
Dalam permasalahan tersebut Spencer juga memberikan pandangannya terhadap
proses evolusi secara umum. Spencer mengatakan, dalam evolusi sosial
aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan tahan dalam
masyarakat, adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang
paling cocok dengan masyarakat di mana mereka hidup.
2) Teori tentang evolusi hukum dalam
masyarakat
Spencer mengatakan bahwa hukum yang ada dalam masyarakat pada awalnya
adalah hukum keramat. Hukum keramat bersumber atau berasal dari nenek moyang
yang berupa aturan hidup dan pergaulan. Masyarakat yakin dan takut, apabila
melanggar hukum ini maka nenek moyang akan marah. Selanjutnya masyarakat
manusia semakin komplex sehingga hukum keramat tadi semakin berkurang
pengaruhnya terhadap keadaan masyarakat atau hukum keramat tersebut tidak cocok
lagi.
Maka timbullah hukum sekuler yaitu hukum yang berlandaskan azas saling butuh-membutuhkan
secara timbal balik di dalam masyarakat. Namun karena jumlah masyarakat semakin
banyak maka dibutuhkan sebuah kekuasaan otoriter dari raja untuk menjaga hukum
sekuler tersebut. Dalam perkembangan selanjutnya, timbullah masyarakat beragama
sehingga kekuasaan otoriter Rajapun tidak lagi cukup. Untuk mengatasi hal
tersebut , ditanamkanlah suatu keyakinan kepada masyarakat yang mengatakan
bahwa raja adalah keturunan dewa sehingga hukum yang dijalankan adalah hukum
keramat.
Pada perkembangan selanjutnya timbullah masyarakat industri,dimana
kehidupan manusia semakin bersifat individualis yaitu suatu sifat yang
mementingkan diri sendiri tanpa melihat kepentingan bersama. Sehingga hukum
keramat raja tidak lagi mampu untuk mengatur kehidupan masyarakat. Maka
munculah hukum baru yang berazaskan saling butuh-membutuhkan antara masyarakat.
Lahirlah suatu hukum baru yang disebut dengan undang-undang.
Dalam masalah tersebut terakhir spencer sempat mengajukan juga
pandangannya tentang makhluk yang bisa hidup langsung adalah yang bisa cocok
dengan persyaratan yang terdapat dalam lingkungan alamnya. Maka dalam evolusi
social aturan-aturan hidup manusia serta hukum yang dapat dipaksakan dalam
masyarakat adalah hukum yang dapat melindungi kebutuhan para warga masyarakat
adalah hukum yang melindungi kebutuhan para warga masyarakat yang paling
berkuasa, yang paling pandai, dan yang paling mampu.
b) Teori evolusi keluarga J.J. Bachofen
Menurut
Bechofen bahwa di seluruh dunia ini, evolusi keluarga berkembang melalui empat
tahapan ( Koentjaraningrat, 1980 ) yaitu sebagai berikut :
1.
Tahapan Promiskuitas : di mana manusia hidup serupa sekawan binatang
berkelompok, laki-laki dan wanita berhubungan bebas…sehingga melahirkan
keturuna tanpa ada ikatan ( Koentjaranigrat, 1980: 38 ) pada tahapan ini
kehidupan manusia sama dengan kehidupan binatang yang hidup berkelompok. Pada
tahapan ini, laki-laki dan perempuan bebas melakukan hubungan perkawinan dengan
yang lain tanpa ada ikatan kelurga dan menghasilkan keturunan tanpa ada terjadi
ikatan keluarga seperti sekarang ini
2.
Lambat laun manusia semakin sadar
akan hubungan ibu dan anak, tetapi anak belum mengenal ayahnya melaikan hanya
masih mengenal ibunya. Dalam keluarga inti, ibulah yang menjadi kepala keluarga
dan yang mewarisi garis keturunan. Pada tahapan ini disebut tahapan
matriarchate. Pada tahapan ini perkawinan ibu dan anak dihindari sehingga
muncullah adat exogami.
3.
Sistem Patriarchate : dimana
ayahlah yang menjadi kepala keluarga serta ayah yang mewarisi garis keturunan.
Perubahan dari matriarchate ke tingkat patriarcahte terjadi karena laki-laki
merasa tidak puas dengan situasi keadaan sosial yang menjadikan wanita sebagai
kepala keluarga. Sehingga para pria mengambil calon istrinya dari kelompok-kelompok
yang lain dan dibawanya ke kelompoknya sendiri serta menetap di sana. Sehingga
keturunannyapun tetap menetap bersama mereka.
4.
Pada tahapan yang terakhir,
patriarchate lambat laun hilang dan berobah menjadi susunan kekerabatan yang
disebut Bachofen susunan parental. Pada tingkat terakhir ini perkawinan tidak
selalu dari luar kelopok (exogami) tetapi juga dari dalam kelompok yang sama
(endogami). Hal ini menjadikan anak-anak bebas berhubungan langsung dengan
kelurga ibu maupun ayah.
c)
Teori evolusi kebudayaan di Indonesia, G.A. Wilken
Ia merumuskan teori-teori tentang sejumlah gejala kebudayaan dan
kemasyarakatan, misalnya tentang teknonimi atau tentang hakikat mas kawin.
Menurut Wilken pada pada mulanya hanya merupakan alat untuk mengadakan
perdamaian antara pengantin pria dengan pengantin wanita setelah berlangsung
kawin lari suatu kejadian yang sering terdapat dalam masa peralihan antara
tingkat matriakat ke tingkat patriakat.
d)
Teori evolusi kebudayaan L.H Morgan
Ia mencoba melukiskan proses evolusi masyarakat dan kebudayaan manusia
melalui delapan tingkat evolusi kebudayaan. Menurutnya, masyarakat dari senua
bangsa di dunia sudah atau masih menyelesaikan proses evolusinya melalui
delapan tingkat berikut :
1) Zaman liar tua, yaitu zaman
sejak adanya manusia sampai ia menemukan api; dalam zaman ini manusia hidup
dari meramu, mencari kar-akar dan tumbuhan-tumbuhan liar.
2) Zaman liar madya, yaitu zaman
sejak manusia menemukan api, sampai ia menemukan senjata busur panah; dalam
zaman ini manusia mulai merobah mata pencaharian hidupnya dari meramu menjadi
pencari ikan di sungai atau menjadi pemburu.
3) Zaman liar muda, yaitu zaman
sejak manusia menemukan busur panah, sampai ia mendapatkan kepandaian membuat
barang-barang tembikar; dalam zaman ini mata pencaharian hidupnya masih
berburu.
4) Zaman barbar tua, yaitu
zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat tembikar sampai ia mulai beternak
atau bercocok tanam.
5) Zaman barbar madya, yaitu
zaman sejak manusia beternak atau bercocok tanam sampai ia menemukan kepandaian
membuat benda-benda dari logam.
6) Zaman barbar muda, yaitu
zaman sejak manusia menemukan kepandaian membuat benda-benda dari logam, sampai
ia mengenal tulisan.
7) Zaman peradaban purba,
menghasilakan beberapa peradapan klasik zaman batu dan logam.
8) Zaman perdaban masa kini,
sejak zaman peradapan klasik sampai sekarang.
e)
Teori Evolusi Religi E.B. Tylor
E.B.Tylor berpendapat, asal mula religi adalah adanya kesadaran manusia
akan adanya jiwa. Kesadaran ini disebabkan oleh dua hal: ( Koentjaraningrat
1980:48)
1)
Adanya perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
hal-hal yang mati. Manusai sadar bahwa ketika manusai hidup ada sesuatu yang
menggerakkan dan kekuatan yang menggerakkan manusia itu disebut dengan jiwa
2)
Peristiwa mimpi, di mana manusia melihat dirinya di tempat lain ( bukan
di tempat ia sedang tidur ). Hal ini menyebabkan manusia membedakan antara
tubuh jasmaninya yang berada di tempat tidur dengan rohaninya di tempat-tempat
lain yangdisebut jiwa.
Selanjutnya Tylor mengatakan bahwa jiwa yang lepas ke alam disebutnya
denga roh atau mahluk halus. Inilah menyebabkan manusia berkeyakinan kepada
roh-roh yang menempati alam. Sehingga manusia memberikan penghormatan berupa
upacara doa, sesajian dll. Inilah disebut Tylor sebagai anamism.
Pada tingkat selanjutnya manusia yakin terhadap gejala gerak alam
disebabkan oleh mahluk-mahluk halus yang menempati alam tersebut. Kemudian jiwa
alam tersebut dipersonifikasikan sebagai dewa-dewa alam. Pada tingkat
selanjutnya manusia yakin bahwa dewa-dewa tersebut memiliki dewa tertinggi atau
raja dewa. Hingga akhirnya manusia berkeyakinan pada satu Tuhan.
f)
Teori Mengenai Ilmu Gaib dan
Religi J.G. Frazer
Pada mulanya manusia hanya menggunakan akalnya untuk memecahkan masalah.
Namun lambat laun sistem pengetahuan manusai semakin terbatas untuk memecahkan
masalah bahkan tidak sanggup lagi memecahkan masalah. Sehingga manusia
memecahkannya dengan magic, ilmu gaib. Magic adalah semua tindakan manusia
untuk mencapai sesuatu dengan menggunakan kekuatan-kekuatan alam dan luar
lainnya. (Koentjaraningrat 1980:54)
Namun dalam perkembangan selanjutnya kekuatan magic tersebut tidak
selamnya berhasil. Maka manusia mulai sadar bahwa di alam ini ada yang
menempatinya yaitu mahluk-mahluk halus. Mulailah manusai mencari hubungannya
dengan mahluk-mahluk halus tersebut. Dengan itu timbullah religi. Religi adalah
segala sistem tingkah laku manusia untuk memproleh sesuatu dengan cara
memasrahkan diri kepada penciptanya.
3. Analogi Evolusi, antara
evolusi biologi, evolusi kebudayaan dan seleksi alam
Tidak ada persoalan dengan pandangan bahwa kebudayaan itu berevolusi.
Manusia menjadi pemburu dan peramu, menggunakan peralatan disamping otot-otot
dan gigi-geligi. Manusia mulai menanam tumbuh-tumbuhan dan memelihara hewan
untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, manusia membangun kota dan sistem
politik yang kompleks. Perubahan-perubahan kebudayaan ini dijelaskan oleh
seleksi alam meskipun perilaku budaya tidak memiliki komponen genetic untuk
diwariskan.
Proses seleksi alam membutuhkan tiga syarat yang harus dipenuhi, yaitu ;
Pertama, seleksi alam memerlukan variasi agar bisa bekerja.
Kedua, harus ada reproduksi yang berkelanjutan.
Ketiga, harus ada mekanisme yang memperbanyak unsur-unsur pengubah kebudayaan
tersebut.
Dalam evolusi biologi, variabelitas berasal dari rekombinasi genetic dan
mutasi. Sedangkan dalam evolusi kebudayaan variabelitas dating dari rekombinasi
perilaku yang dipelajari dan dari penemuan-penemuan. Kebudayaan tidaklah
tertutup atau terisolasi seperti halnya spesies. Suatu spesies tidak akan
meminjam unsure-unsur genetic dari spesies lain, tapi kebudayaan dapat meminjam
hal-hal baru dan perilaku dari kebudayaan lain. Sebagai contoh, cara bertanam
jagung di suatu daerah dapat diterapkan juga di daerah-daerah lain.
Perilaku juga cenderung mengalami seleksi seperti halnya seleksi pada
ukuran tubuh atau ketahanan terhadap penyakit. Meskipiun perilaku tidak
diwariskan secara genetic kepada generasi selanjutnya, orang tua yang
menunjukkan unsure-unsur perilaku adaptif lebih cenderung “menciptakan”
unsure-unsur itu kepada anak-anaknya, yang dipelajari melalui peniruan maupun
ajaran orang tua.
Orang tua dan anak-anak juga mungkin meniru perilaku adaptif orang-orang
di luar keluarga. Dengan demikian, meskipun evolusi biologi dan evolusi
kebudayaan tidak sama, cukup beralasan untuk berasumsi bahwa seleksi alam
secara umum bisa bekerja pada gen maupun perilaku budaya. Inilah antara lain
yang penulis maksud dengan analogi evolusi.
4. Menghilangnya teori-teori
evolusi kebudayaan
Pada akhir abad ke-19 mulai timbul kecaman-kecaman terhadap cara berfikir
dan cara bekerja para sarjana penganut evolusi kebudayaan. Kecaman mulai
menyerang detail dan unsure-unsur tertentu dalam berbagai karangan dari para
penganut teori-teori tersebut, kemudian meningkat menjadi serangan-serangan
terhadap konsepsi dasar dari teori-teori tentang evolusi kebudayaan manusia.
Pengumpulan bahan keterangan baru, terutama sebagai hasil
penggalian-penggalian serta bertambah banyaknya aktivitas-aktivitas penelitian
para ahli antropologi sendiri. Dengan demikian mulai tampak bahwa
tingkat-tingkat evolusi para penganut teori-teori evolusi dari para penganut
teori-teori evolusi kebudayaan itu hanya merupakan konstruksi-konstruksi
pikiran saja, yang tidak sesuai dengan kenyataan dan yang lama-kelamaan tidak
dapat di pertahnkan lagi.
Pada permulaan abad ke-20 hampir tidak ada lagi karya antropologi
berdasarkan konsep evolusi. Hanya kira-kira sekitar 1930 tampak adanya
penelitian-penelitian antroplogi berdasarkan konsep-konsep itu di Uni Soviet.
Dalam tahun 1940-an muncul beberapa ahli antropologi Inggris dan Amerika yang
menghidupakan lagi konsep-konsep mengenai teori evolusi kebudayaan., tetapi
yang sama bagi semua bangsa di dunia.
C. Penutup
Evolusi
sebelum abad ke-19 sangat erat sekali dengan para tokoh antropolog. Hingga
bermuncullah tokoh-tokoh antropolog yang mengeluarkan konsep-konsep mengenai
evolusi itu sendiri. Misalnya saja seperti H. SPENCER dengan teori evolusi
universalnya, J.J. Bachofen dengan teori evolusi keluarga, G.A Wilken dengan
teori kebudayaan di Indonesia, serta tokoh-tokoh antropologi lainnya. Hingga
menghilangnya pemakaian teori evolusi dalam kurun abad ke 19 dan dimunculkan
lagi abad ke 20 oleh ahli antropolog Uni Soviet, Inggris dan Amerika.
DAFTAR REFERENSI
·
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antroplogi. Jakarta. UI PRESS :
1987
·
Fedyani, achmad. Antropologi Kontenporer. Jakarta. Kencana : 2005
·
Keesing, samuel. Antropologi Budaya. Jakarta. Erlangga : 1989
0 komentar:
Posting Komentar