Tugas Ilmu
Budaya Dasar “Revolusi Budaya”
Nama : Ridwan friatmoko
kelas : 1 KA 11
NPM : 16112318
Disetiap
kehidupan , pasti akan mengalami perubahan , perubahan terjadi beriringan
dengan perubahan waktu dan zaman , perubahan juga terjadi secara tidak sengaja
maupun yang di sengaja atau direncanakan, revolusi juga adalah salah satu
bagian dari perubahan tersebut..
Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang
berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat.
Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa
direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui
kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi
pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris
yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap 'cepat' karena mampu mengubah
sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem kekeluargaan dan
hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung selama ratusan tahun.
Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari
sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru. Revolusi senantiasa
berkaitan dengan dialektika, logika, romantika, menjebol dan membangun.
Dialektika
revolusi mengatakan bahwa revolusi merupakan suatu usaha menuju perubahan
menuju kemaslahatan rakyat yang ditunjang oleh beragam faktor, tak hanya figur
pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Logika
revolusi merupakan bagaimana revolusi dapat dilaksanakan berdasarkan suatu
perhitungan mapan, bahwa revolusi tidak bisa dipercepat atau diperlambat, ia
akan datang pada waktunya. Kader-kader revolusi harus dibangun sedemikian rupa
dengan kesadaran kelas dan kondisi nyata di sekelilingnya. Romantika revolusi
merupakan nilai-nilai dari revolusi, beserta kenangan dan kebesarannya, di mana
ia dibangun. Romantika ini menyangkut pemahaman historis dan bagaimana ia
disandingkan dengan pencapaian terbesar revolusi, yaitu kemaslahatan rakyat.
Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan
kemasyuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti
yang terdapat di Vietnam, Rusia, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya.
Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik
revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat,
diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia,
setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di
mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para
tuan tanah di banyak daerah di negeri itu.
Dalam
pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi
syarat-syarat tersebut. Misalnya Revolusi
Industri yang mengubah wajah dunia menjadi modern. Dalam definisi
yang lebih sempit, revolusi umumnya dipahami sebagai perubahan politik.
Sejarah
modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada Revolusi
Perancis, kemudian Revolusi
Amerika. Namun, Revolusi Amerika lebih merupakan sebuah
pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi
masyarakat yang bersifat domestik seperti pada Revolusi Perancis. Begitu juga
dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka
konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi
sosial dan revolusi nasional.
Pada abad
20, terjadi sebuah perubahan bersifat revolusi sosial yang kemudian dikenal
dengan Revolusi Rusia. Banyak pihak yang membedakan
karakter Revolusi Rusia ini dengan Revolusi Perancis, karena karakter
kerakyatannya. Sementara Revolusi Perancis kerap disebut sebagai revolusi borjuis,
sedangkan Revolusi Rusia disebut Revolusi Bolshevik,
Proletar, atau Komunis.
Model Revolusi Bolshevik kemudian ditiru dalam Perang Saudara Tiongkok pada 1949
Karakter
kekerasan pada ciri revolusi dipahami sebagai sebagai akibat dari situasi
ketika perubahan tata nilai dan norma yang mendadak telah menimbulkan
kekosongan nilai dan norma yang dianut masyarakat.
Contoh Revolusi Kebudayaan
kebudayaan di Indonesia juga
mengalamai revolusi , bahkan di masa pra sejarah sekalipun , sebagai contohnya adalah: Pembagian
zaman dalam prasejarah diberi sebutan menurut benda-benda atau peralatan yang
menjadi ciri utama dari masing-masing periode waktu tersebut. Adapun pembagian
kebudayaan zaman prasejarah tersebut terdiri dari:
I. Zaman Batu Tua (Palaelitikum)
Berdasarkan tempat penemuannya, maka kebudayaan tertua itu lebih dikenal dengan sebutan Kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
1.Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 di daerah Pacitan ditemukan sejumlah alat-alat dari batu, yang kemudian dinamakan kapak genggam, karena bentuknya seperti kapak yang tidak bertangkai. Dalam ilmu prasejarah alat-alat atau kapak Pacitan ini disebut chopper (alat penetak). Soekmono mengemukakan bahwa asal kebudayaan Pacitan adalah dari lapisan Trinil, yaitu berasal dari lapisan pleistosen tengah, yang merupakan lapisan ditemukannya fosil Pithecantropus Erectus.
II. Zaman Batu Madya (Mesolitikum)
Peninggalan atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan menangkap ikan. Tetapi sebagian besar mereka sudah menetap, sehingga diperkirakan sudah mengenal bercocok tanam, walaupun masih sangat sederhana.
Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di goa-goa dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di goa-goa). Secara garis besar kebudayaan zaman Mesolitikum terdiri dari: alat-alat peble yang ditemukan di Kyokkenmoddinger, alat-alat tulang, dan alat-alat flakes, yang ditemukan di Abris Sous Roche.
III. Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman Neolitikum merupakan zaman yang menunjukkan bahwa manusia pada umumnya sudah mulai maju dan telah mengalami revolusi kebudayaan. Dengan kehidupannya yang telah menetap, memungkinkan masyarakatnya telah mengembangkan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sehingga dalam zaman Neolitikum ini terdapat dasar-dasar kehidupan. Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari peninggalannya dan menjadi corak yang khusus, dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu:
1.Kapak Persegi
Sebutan kapak persegi didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya berbentuk persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk alatnya sama, yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang melengkung tersebut. Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu yang pada bagian tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi.
2.Kapak Lonjong
Disebut kapak lonjong karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan bentuk kapaknya sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan untuk tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong disebut Neolitikum Papua, karena banyak ditemukan di Irian.
IV. Zaman Logam
Zaman logam dalam prasejarah terdiri dari zaman tembaga, perunggu, dan besi. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga, sehingga setelah zaman Neolitikum, langsung ke zaman perunggu. Adapun kebudayaan Indonesia pada zaman Logam terdiri dari:
1.Kebudayaan Zaman Perunggu
Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia terdiri dari: kapak Corong yang disebut juga kapak sepatu, karena bagian atasnya berbentuk corong dengan sembirnya belah, dan kedalam corong itulah dimasukkan tangkai kayunya
2.Kebudayaan Dongson
Dongson adalah sebuah tempat di daerah Tonkin Tiongkok yang dianggap sebagai pusat kebudayaan perunggu Asia Tenggara, oleh sebab itu disebut juga kebudayaan Dongson. Sebagaimana zaman tembaga, di Indonesia juga tidak terdapat zaman besi, sehingga zaman logam di Indonesia adalah zaman perunggu.
I. Zaman Batu Tua (Palaelitikum)
Berdasarkan tempat penemuannya, maka kebudayaan tertua itu lebih dikenal dengan sebutan Kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
1.Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 di daerah Pacitan ditemukan sejumlah alat-alat dari batu, yang kemudian dinamakan kapak genggam, karena bentuknya seperti kapak yang tidak bertangkai. Dalam ilmu prasejarah alat-alat atau kapak Pacitan ini disebut chopper (alat penetak). Soekmono mengemukakan bahwa asal kebudayaan Pacitan adalah dari lapisan Trinil, yaitu berasal dari lapisan pleistosen tengah, yang merupakan lapisan ditemukannya fosil Pithecantropus Erectus.
II. Zaman Batu Madya (Mesolitikum)
Peninggalan atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan menangkap ikan. Tetapi sebagian besar mereka sudah menetap, sehingga diperkirakan sudah mengenal bercocok tanam, walaupun masih sangat sederhana.
Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di goa-goa dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di goa-goa). Secara garis besar kebudayaan zaman Mesolitikum terdiri dari: alat-alat peble yang ditemukan di Kyokkenmoddinger, alat-alat tulang, dan alat-alat flakes, yang ditemukan di Abris Sous Roche.
III. Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman Neolitikum merupakan zaman yang menunjukkan bahwa manusia pada umumnya sudah mulai maju dan telah mengalami revolusi kebudayaan. Dengan kehidupannya yang telah menetap, memungkinkan masyarakatnya telah mengembangkan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sehingga dalam zaman Neolitikum ini terdapat dasar-dasar kehidupan. Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari peninggalannya dan menjadi corak yang khusus, dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu:
1.Kapak Persegi
Sebutan kapak persegi didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya berbentuk persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk alatnya sama, yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang melengkung tersebut. Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu yang pada bagian tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi.
2.Kapak Lonjong
Disebut kapak lonjong karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan bentuk kapaknya sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan untuk tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong disebut Neolitikum Papua, karena banyak ditemukan di Irian.
IV. Zaman Logam
Zaman logam dalam prasejarah terdiri dari zaman tembaga, perunggu, dan besi. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga, sehingga setelah zaman Neolitikum, langsung ke zaman perunggu. Adapun kebudayaan Indonesia pada zaman Logam terdiri dari:
1.Kebudayaan Zaman Perunggu
Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia terdiri dari: kapak Corong yang disebut juga kapak sepatu, karena bagian atasnya berbentuk corong dengan sembirnya belah, dan kedalam corong itulah dimasukkan tangkai kayunya
2.Kebudayaan Dongson
Dongson adalah sebuah tempat di daerah Tonkin Tiongkok yang dianggap sebagai pusat kebudayaan perunggu Asia Tenggara, oleh sebab itu disebut juga kebudayaan Dongson. Sebagaimana zaman tembaga, di Indonesia juga tidak terdapat zaman besi, sehingga zaman logam di Indonesia adalah zaman perunggu.
V. Zaman Batu Besar (Megalitikum)
Zaman Megalitikum berkembang pada zaman logam, namun akarnya terdapat pada zaman Neolitikum. Disebut zaman Megalitikum karena kebudayaannya menghasilkan bangunan-bangunan batu atau barang-barang batu yang besar. Peninggalan-peninggalannya yang terpenting adalah:
1.Menhir, yaitu tiang atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan terhadap arwah nenek moyang.
2.Dolmen, berbentuk meja batu yang dipergunakan sebagai tempat meletakkan sesajen yang dipersembahkan untuk nenek moyang.
3.Sarcopagus, berupa kubur batu yang bentuknya seperti keranda atau lesung dan mempunyai tutup.
4.Kubur batu, merupakan peti mayat yang terbuat dari batu.
5.Punden berundak-undak, berupa bangunan pemujaan dari batu yang tersusun bertingkat-tingkat, sehingga menyerupai tangga.
6.Arca-arca, yaitu patung-patung dari batu yang merupakan arca nenek moyang.
Hasil-hasil kebudayaan Megalitikum di Indonesia mempunyai latar belakang kepercayaan dan alam pikiran yang berlandaskan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
Revolusi
Kebudayaan di Indonesia tidak hanya terjadi pada era pra sejarah saja
Dan
di masa kini pun revolusi budaya masih terjadi seperti contoh yang akan di
jelaskan sebagai berikut
Dalam
berkomunikasi melalui media bahasa, verbal maupun non verbal. Terkadang kita
terjebak pada pemahaman tentang membahasakan gerak kita, kalimat selau
disamakan dengan bahasa, bibir dan lidah dijadikan simbol penguatan terhadap
pengungkapan satu maksud. Perlu dipertanyakan “bagaimana kabarnya kata hati?”
terkadang hal-hal yang tidak diungkapkan dengan lidah merupakan suatu kejujuran
dari kejujuran itu sendiri. Dalam satu kutipan puisi dituliskan; “ Lidah ini
terlalu sering menzalaimi hati, Ampuni kami Tuhan, kami lupa, Bermimpipun kami
memerlukan Bahasa”.
Mengenai
bahasa, ada satu peristiwa yang terekam saat penulis mengantar seorang teman
untuk konsultasi skripsi ke dosen pembimbingnya. Kebetulan, sebelum kami
disana, ada salah seorang mahasiswi yang lebih dahulu berkonsultasi. Sesaat
sempat terjadi perbincangan antara dosen dan mahasiswi tersebut, tiba-tiba di
tengah perbincangan terdengar satu kalimat yang sebenarnya sangat populer
tetapi ganjil juga didengar “so what gitu lho, Pak”.
Anehkah ini? Ataukah ini sekedar masalah selera berbahasa? Selera kenyamanan, keinstanan, atau popularitas bahasa? Yang jelas bahasa, mampu menjadi penentu posisi manusia. Karena tidak lama setelah itu, mahasiswa tersebut harus keluar dari ruangan dosennya dengan wajah kecewa.
Anehkah ini? Ataukah ini sekedar masalah selera berbahasa? Selera kenyamanan, keinstanan, atau popularitas bahasa? Yang jelas bahasa, mampu menjadi penentu posisi manusia. Karena tidak lama setelah itu, mahasiswa tersebut harus keluar dari ruangan dosennya dengan wajah kecewa.
Memahami
gerak manusia dari bahasa, bisa saja dilakukan. Akan tetapi, tidak sedikit
orang yang terlalu cepat mengambil kesimpulan dari gerak bahasa orang lain. Hal
ini dapat terjadi karena intensitas waktu komunikasi yang singkat, pemilihan
kata yang kurang pas atau bahkan sangat pas, juga karena media berkomunikasi
yang kompleks.
Tulisan ini
hanya sebagian kecil dari banyaknya pembahasan-pembahasan tentang bahasa yang
telah banyak dikaji, suatu refleksi dari sesat fikir penulis tentang suatu
realita kecil dari perjalanan bahasa itu sendiri. Dalam hal ini lebih kepada
pembahasan ringan tentang akrabnya bahasa-bahasa yang akhir-akhir banyak
disponsori melalui media televisi.
Reaksi merupakan refleksi dari keadaan. Yang sering terjadi adalah kebingungan kita membahasakan reaksi gerak. Maka, posisi bahasa dalam hal ini sama penting dengan posisi reaksi gerak. Alih-alih, bahasa menjadi hal yang substansial untuk memaknai setiap tindakan. Baik itu tindakan yang dirasakan langsung maupun tidak langsung pengaruhnya.
Sebagai contoh riil. Ketika kita menyimak satu berita, baik itu berita di media cetak maupun elektronik. Sering kali terjadi, ketika kita dimintai tolong untuk menceritakan kembali isi berita, akan ada saja bagian yang luput dari cerita kita dengan isi berita. Terlepas dari inti pesan berita yang hendak di sampaikan. Karena, kebiasaan kita yang sering mengkerucutkan satu permasalahan (sifatnya subjektif)
Reaksi merupakan refleksi dari keadaan. Yang sering terjadi adalah kebingungan kita membahasakan reaksi gerak. Maka, posisi bahasa dalam hal ini sama penting dengan posisi reaksi gerak. Alih-alih, bahasa menjadi hal yang substansial untuk memaknai setiap tindakan. Baik itu tindakan yang dirasakan langsung maupun tidak langsung pengaruhnya.
Sebagai contoh riil. Ketika kita menyimak satu berita, baik itu berita di media cetak maupun elektronik. Sering kali terjadi, ketika kita dimintai tolong untuk menceritakan kembali isi berita, akan ada saja bagian yang luput dari cerita kita dengan isi berita. Terlepas dari inti pesan berita yang hendak di sampaikan. Karena, kebiasaan kita yang sering mengkerucutkan satu permasalahan (sifatnya subjektif)
Ada baiknya,
jika pengkrucutan yang dimaksud sesuai dengan tujuan berita. Tapi, tidak
menutup kemungkinan bagian yang terlupakan justru adalah kunci berita, yang
akhirnya mengaburkan maksud serta tujuan pesan. Hal ini yang kita sebut sebagai
reduksi bahasa. Dan segala sesuatu yang direduksi, tidak selalu sama dengan
penyampaian awal. Tapi adakalanya juga reduksi bahasa mampu menjadi tafsiran
dari makna yang dikandung.
Kaitannya dengan bahasa, kita sering mendengar populernya bahasa-bahasa yang tidak sedikit membuat kita mengerutkan dahi saat mendengarnya. Permasalahannya, bukan pada pantas atau tidak pantas (sopan dan tidak sopan), faham atau tidak faham. Tapi, pada konteks kapan bahasa itu mestinya diungkapkan, yang kita fahami hanya sebatas ungkapan ringan yang selalu wajar digunakan kapan saja.
Kaitannya dengan bahasa, kita sering mendengar populernya bahasa-bahasa yang tidak sedikit membuat kita mengerutkan dahi saat mendengarnya. Permasalahannya, bukan pada pantas atau tidak pantas (sopan dan tidak sopan), faham atau tidak faham. Tapi, pada konteks kapan bahasa itu mestinya diungkapkan, yang kita fahami hanya sebatas ungkapan ringan yang selalu wajar digunakan kapan saja.
Bahasa-bahasa
populer yang banyak dikonsumsi tidak hanya oleh kalangan Anak Baru Gede (ABG)
juga acap kali di simak oleh orang dewasa. Seperti maraknya bahasa sinetron
yang bercerita tentang dunia remaja (khususnya di Jakarta). Karena kemajuan
dunia informasi, menjadikannya banyak dikonsumsi oleh semua kalangan pencinta
sinetron di seluruh pelosok negeri. Dan NTB, dalam hal ini tidak pernah luput
dari kemajuan dunia hiburan pertelevisian nasional maupun lokal.
‘So what
gitu lho?’. ‘Please dong ah’ atau ‘please deh’. ‘OMG’ (Singkatan dari Oh My
God) ‘Rasanya gimana gicu’. Dan serangkaian bahasa pelesetan yang sedang
populer di gunakan. Merambah, membentuk satu kebiasaan berbahasa dan sering
kali akrab ditelinga kita.
Hebatnya, kita mejadi konsumen yang baik dalam hal mengadopsi istilah-istilah yang acap kali di pakai oleh aktor. Malah, kita cendrung lebih hebat dalam mengekspresikan bahasa, dalam hal ini over action.
Hebatnya, kita mejadi konsumen yang baik dalam hal mengadopsi istilah-istilah yang acap kali di pakai oleh aktor. Malah, kita cendrung lebih hebat dalam mengekspresikan bahasa, dalam hal ini over action.
Sehingga
tidak heran, penulis pribadi sering merasa geli mendengar istilah-istilah ini
di pergunakan dalam konteks yang kontra dengan keadaan (media ekspresi bahasa).
Ataukah, telinga kita yang harus sering dilatih untuk beradaptasi? Karena,
tidak menutup kemungkinan, suatu saat kita akan sering menggunakan
istilah-istilah bahasa populer itu.
Ada beberapa konsep yang penulis mampu simpulkan dari realitas berbahasa kita, khususnya gaya berbahasa kaum muda yang banyak mengadopsi bahasa sinetron kita.
Pertama, kurangnya nalar artikulasi bahasa daerah yang kita miliki sebagai anak daerah. Baik secara personal (basic ide) maupun komunal (penguatan ide). Sehingga, kemajuan teknologi komunikasi yang bersifat sentralistik sering kali mentransformasikan budaya sentral untuk di konsumsi daerah lain. Sehingga, seringkali terjadi percampuran budaya yang justru berdampak pada termarjinalnya budaya asli. Maka, pentingnya nalar artikulasi bahasa daerah akan memudahkan kita untuk lebih banyak mengekspresikan budaya sendiri.
Kedua, kita belum tegas menentukan posisi indra dalam mengkonsumsi proyek teknologi. Hanya sebagai penikmat yang “baik” tanpa mampu mengkritisinya. Masih latah meniru setiap geliat yang dipandang sebagai sesuatu yang baru. Pergeseran-pergeseran dari segi berbahasa ini, sesungguhnya mampu menjadi motor penggerak perubahan, baik pada sikap prilaku dalam pergaulan sehari-hari, menjadi identitas seseorang (Anak Gaul, Funky, Supel, dll), karena bahasa adalah salah satu dari komponen perubahan.
Ada beberapa konsep yang penulis mampu simpulkan dari realitas berbahasa kita, khususnya gaya berbahasa kaum muda yang banyak mengadopsi bahasa sinetron kita.
Pertama, kurangnya nalar artikulasi bahasa daerah yang kita miliki sebagai anak daerah. Baik secara personal (basic ide) maupun komunal (penguatan ide). Sehingga, kemajuan teknologi komunikasi yang bersifat sentralistik sering kali mentransformasikan budaya sentral untuk di konsumsi daerah lain. Sehingga, seringkali terjadi percampuran budaya yang justru berdampak pada termarjinalnya budaya asli. Maka, pentingnya nalar artikulasi bahasa daerah akan memudahkan kita untuk lebih banyak mengekspresikan budaya sendiri.
Kedua, kita belum tegas menentukan posisi indra dalam mengkonsumsi proyek teknologi. Hanya sebagai penikmat yang “baik” tanpa mampu mengkritisinya. Masih latah meniru setiap geliat yang dipandang sebagai sesuatu yang baru. Pergeseran-pergeseran dari segi berbahasa ini, sesungguhnya mampu menjadi motor penggerak perubahan, baik pada sikap prilaku dalam pergaulan sehari-hari, menjadi identitas seseorang (Anak Gaul, Funky, Supel, dll), karena bahasa adalah salah satu dari komponen perubahan.
jadi
revolusi kebudayaan tidak akan bisa di elak lagi. jika generasi penerus kita
tidak lagi peduli dengan budaya bangasa sendiri . bagus kalau revolusi tersebut
bersifat positif,bagaimana kalau perubahan tersebut bersifat negatif . tentunya
akan sangat merusak moral suatu bangsa . maka dari itu ,kita sebagai generasi
penerus harus lebih menghargai budaya bangsa taah air sendiri , dan juga ikut
melestarikan nya agar tidak punah dimakan waktu.
daftar pustaka:
0 komentar:
Posting Komentar